Jikalau Aku Jodohmu
Jikalau Aku Jodohmu - Ikhlas adalah suatu cara dimana kebahagian muncul dan dapat tergantikan. Namun, tuhan memberikan cara itu dengan berbeda-beda kepada umatnya. Didunia ini terkadang kita harus ikhlas untuk merelakan sesuatu yang sangat kita cintai.
Namun, aku yakin dibalik luka dan duka atas keikhlasan itu terkandung sebuah nikmatnya yang besar. Mungkin sekarang hanya bayangannya saja yang mampu aku kenang dan kurindukan, tak ada lagi sosoknya yang selalu membuatku rindu. Tetapi, sekarang bayangannya itu sudah terparkir di kepalaku.
Namaku Maryam, usiaku sekarang tepat 23 tahun. Aku tinggal di pondok pesantren di Jawa Timur. Sejak usia ku menginjak 7 tahun, kedua orang tua ku telah mengenalkan ku untuk tinggal di pesantren. Tetapi karena aku cukup mandiri dan cukup nyaman tinggal di pesantren akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di pondok pesantren dan jauh dari kedua orang tua. Bukan hanya menimba ilmu dan mengaji, bahkan aku merajut cinta kasih di pesantren.
Ketika aku menginjak kelas tiga SMA masa-masa jatuh cinta itu hadir begitu saja tanpa ada komunikasi terlebih dahulu. Lelaki yang aku sukai bukanlah orang yang populer karena anak Kiai.
Tetapi, dia populer karena dia seorang Hafidz Qur’an. Sering kali dia mengikuti acara-acara perlombaan besar di beberapa kota, bahkan beberapa negara belahan dunia. Bukan hanya pintar dan tampan yang ia miliki tetapi yang membuatku tergoda adalah kesholehannya. Cerita cintaku saat itu kurang diketahui banyak orang. Bahkan percintaan kami tak seromantis anak muda zaman sekarang, jauh. Percintaan kami singkat, sangat jarang berkomunikasi bahkan surat-menyurat.
Tetapi, aku dan dia mempunyai trik yang cukup unik. Kami selalu menunggu waktu adzan magrib berkumandang. Ya, karena itu adalah kesempatanku dan dia agar dapat saling memandang lebih lama. Walaupun jarak antara tempat wudhu kami berjauhan tetapi bukanlah penghalang bagi kami.
Sering sekali kami saling bertatap muka, tetapi sangat jarang berkomunikasi. Kami selalu ibaratkan bahwa kami mempunyai alat komunikasi yang tidak dapat diketahui oleh syaitan.
Tetapi, setelah kelulusan SMA semua berubah. Aku tak melihat sikap yang ia miliki seperti dulu. Aku hanya mampu pasrahkan kepada yang maha kuasa. Tak lama setelah kelulusan sekitar 5 bulan kemudian, dia mengirimiku surat melalui temanku.
Ini adalah pertama kalinya aku menerima surat darinya yang tak pernah sebelumnya. Tanganku gemetar, bibirku gugup, perlahan ku buka surat itu di tempat yang sedikit sepi. Suratnya harum dan terlihat tulisan rapih yang ditulis oleh tinta hitam.
Aku tak bisa berkata banyak, sampai air mataku benar-benar telah membuat pipiku basah. Bibirku gugup, ingin sekali aku mengeluarkan kata-kata dalam hatiku ini, ingin sekali aku menjawab surat itu. Dan yang sangat ku inginkan melihat dirinya langsung saat itu. Aku tak tau apakah ini teguran atau ujian dari Tuhan. Tetapi, aku hanya yakin akan ada nikmat dibalik ini semua tanpa harus aku ketahui. Aku hanya ingat pesan darinya bahwa aku harus ikhlas menerimanya.
Malam itu, aku tak bisa tertidur pulas. Aku terus memikirkannya sampai menjelang pagi. Keesokan harinya dimana dia akan benar-benar pergi meninggalkanku. Ku titipkan gelang tasbih kepada temannya yang terbuat dari kayu Arab pemberian Guruku.
Aku tak mampu melihatnya mulai melangkah kaki untuk pergi. Aku bersembunyi dibelakang masjid. Tetapi, sayang disana aku melihat Ustadzah dan beliau melihatku menangis disana. Beliau menghampiriku, “Mengapa kamu bersedih, Maryam?” suaranya lembut menyentuh hatiku.
“Tidak Bu, aku tidak apa-apa.” Aku mengusap pipiku yang di basahi air mata.
“Kamu tak berpura-pura kan nak?”
Aku terpaksa jujur dan menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diriku.
Beliau memegang tanganku dan menatapku penuh kasih, “Ingat nak, Allah selalu memberi jalan dari setiap musibah dan ujian yang Allah berikan. Kamu tak perlu khawatir bahkan merasa marah atas ujian yang tlah Allah berikan.” Beliau tersenyum manis kepadaku. “Suatu hari nanti kamu akan mengerti semua ini dan kamu pasti akan mengetahui jalan keluar dari ujian ini.”
“Baik bu, terima kasih bu.”
“Sudahlah, terima saja. Tersenyumlah, perlihatkan bahwa kamu itu tegar,” senyuman manisnya membuatku bangkit dari semua ini.
Awal, memang menjadi pr untukku agar dapat mengikhlaskannya. Tetapi setelah 7 bulan lamanya, perasaan itu memudar. Aku terus memfokuskan diriku untuk berkarir. Ya, walaupun masih berada didalam pondok pesantren.
Tepat di bulan April, pondok pesantren kami mendapatkan surat undangan agar ada perwakilan dari pondok pesantren kami mengikuti Lomba Baca Qur’an di Mesir.
Dan pada akhirnya pondok pesantren kami mengirimkan sekitar 3 orang hafidz yang masih di bawah umur, dan aku mendapat undangan bahwa aku harus menjadi guru pembimbing mereka ketika di Mesir. Aku menerimanya dengan senang hati.
Sesampai di Mesir, 3 orang hafidz dari pondok pesantren ku akhirnya memenangkan juara ke 2. Ketika aku sedang duduk di barisan penonton, aku melihat sosok yang tak asing lagi ku lihat sebelumnya. Wajahnya tak ada yang berubah, bahkan bertambah tampan 35%.
Dia tak melihatku karena dia duduk di barisan depan, sedangkan aku di barisan belakang. Aku mencoba menanyakan siapa dia kepada seseorang disampingku. Untuk memastikan bahwa benar dia adalah sosok kekasih lamaku.
“Maaf, kamu tau siapa dia?”
“Ya, saya tau. Dia adalah pembimbing guru hafidz di Mesir ini. Usianya memang sangatlah muda. Tetapi, dia sangatlah pintar dan banyak yang menyukainya.”
“Oh, terima kasih ya,” aku tersenyum manis kepadanya dan kembali memandangnya dari kejauhan.
Setelah acara selesai, semua orang yang mengikuti perlombaan itu menginap di sebuah asrama. Aku berbaring di tempat tidur untuk melepaskan rasa lelahku. Tetapi, tetap saja pikiranku tak bisa berhenti memikirkannya.
Aku segera beranjak untuk berdiri dan mencari udara segar keluar. Aku menghela nafas panjang dan duduk di depan asramaku. Rasa lelah dan beban ku seperti berkurang. Ini yang terkadang membuatku tak suka, lagi-lagi aku harus melihatnya.
Ya, kekasih lamaku yang sedang sibuk memegang handphone didekat pintu. Aku terus memandang nya dari kejauhan. Rasanya mulutku ingin berbicara banyak kepadanya. Tapi, kali ini perasaan ku benar-benar tegang. Dia melihatku, da dia menatapku tajam. Aku langsung memalingkan pandanganku ke arah yang lain.
Dia mendekatiku, dan duduk tepat di sebelahku. Aku tak kuasa menengok ke arahnya atau bahkan menatap wajahnya.
“Cinta memang tak dapat ditebak, bahkan aku tak bisa menaklukkannya,” sahutnya kepadaku.
“Tetapi, meninggalkan seseorang karena belajar dan tak ingin berusaha mempertahankan cintanya, sangatlah ..,” aku tak kuasa melanjutkan perkataanku saking banyak sekali yang ingin aku katakan.
“Aku tau dari awal kamu akan datang!”
“Lalu? Kamu hanya diamkan?” aku memalingkan pandanganku kepadanya.
“Maryam, kamu salah paham!”
“Salah paham apa? Apa salah ku? Kamu yang ninggalin aku!” aku sedikit terpancing emosi.
“Jika kamu memang mengerti, kamu akan tau mengapa aku begini!”
Aku hanya diam sebagai jawaban.
Dia memalingkan pandangannya dariku kedepan, “Maryam, seandainya kamu tau dadaku sangatlah sesak. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Jika aku meninggalkanmu dan masih tergantung status diantara kita. Bagaimana jika aku tak mampu menjaga amanah itu? Bagaimana jika aku khilaf?”
“Kita harus berusaha, kita harus yakin kita pasti bersama. Aku lelah dengan perasaan ini!”
“Kalau begitu lupakan saja, mungkin ini sudah takdir Tuhan yang terbaik!”
“Semudah itu?”
Dia menatapku dengan tatapan yang berbeda.
“Aku akan menikah dengan wanita lain karena permintaan kedua orang tuaku,” jawabnya tegas.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku menatapnya tajam, aku tak yakin dengan apa yang baru saja ku dengar.
“Inikah caramu?”
Aku begitu terpancing emosi, karena aku takut melukai hatinya aku putuskan untuk pergi meninggalkannya dan kembali ke asrama. Aku menutup mataku dan segera membereskan pakaianku karena besok pagi aku harus segera kembali ke Indonesia. Malam itu menjadi malam terburuk ku bahwa kenyataannya harapanku benar-benar harus aku kubur.
Sesampai di Indonesia aku ditemui oleh kedua orang tuaku. Awalnya mereka menanyakan kapan aku mengakhiri masa lajangku tetapi akhirnya mereka membawakanku jodoh yang katanya lulusan dari Mesir. Rasanya aku sudah muak mendengar kata Mesir di telingaku.
“Kamu mau kan nak?”
“Bagaimana ayah dan ibu saja,” nada suaraku sedikit kurang bersemangat.
“Kalau begitu nanti kita akan adakan pertemuan ya nak, kamu harus cantik. Awas jangan lupa ya!”
Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.
Setelah 3 minggu kemudian, acara pertemuan itu berlangsung di rumah asalku di Depok. Aku biasa saja tidak terlalu mempersiapkan. Ibuku sedang sibuk menyiapkan makanan hidangan untuk pertemuan ini, sedangkan ayahku sibuk juga melayani para tamu. Aku hanya menunggu di kamar.
Sekitar 20 menit menunggu, terdengar suara mobil datang ke rumahku, ya mungkin calon suamiku yang telah kedua orang tua persiapkan. Tak lama terdengar ketuk pintu kamarku. Aku bergegas membukanya.
“Sebentar!”
Aku segera membukakan pintu kamarku, aku lihat senyuman lebar terpancar dari wajah ibuku. Aku siapkan hatiku untuk menerimanya, calon suamiku. Aku tak kuasa melihat bagaimana wajah calon suamiku. Aku duduk tepat disamping ibuku, aku menundukkan kepalaku. Ketika ayahku mulai mengenalkan ku kepadanya, tiba-tiba perasaanku tak karuan.
Jantung ku berdetak kencang, keringat terasa bercucuran, aneh. Saat aku mulai melihat wajahnya, aku begitu sangat terkejut. Ternyata aku melihat sosok yang selalu menjadi hantu dipikiranku yang telah lama terparkir itu. Dia tersenyum manis kepadaku aku pun membalasnya.
“Inilah calon istriku yang aku telah aku ceritakan kepadamu.”
Aku hanya tersenyum saking bahagia. Sebenarnya ibuku telah berteman lama dengan kedua orang tuanya. Dulu kedua orang tua ku dan kedua orang tuanya tak merencanakan ini semua. Tetapi, mungkin karena kuasa Tuhan dan takdir yang telah digariskan kami pun akhirnya harus bersama walaupun banyak sekali rintangan antara hubungan kami.
Cinta memanglah sebuah misteri, yang sangat sulit dipecahkan. Tetapi, ikhlaskanlah dan yakinlah semua bahwa akan ada hikmah dibalik itu semua. Akhirnya kami menikah, hidup bahagia, walaupun selalu terselip sebuah ujian. Tetapi, aku merasa selalu kuat kali ini. Karena aku tlah ditemani sosok yang tak akan pernah pergi lagi. Kalaupun pergi pasti karena panggilan illahi.
Pengirim : Maryam Cryseld
Sumber https://www.kopi-ireng.com/
Namun, aku yakin dibalik luka dan duka atas keikhlasan itu terkandung sebuah nikmatnya yang besar. Mungkin sekarang hanya bayangannya saja yang mampu aku kenang dan kurindukan, tak ada lagi sosoknya yang selalu membuatku rindu. Tetapi, sekarang bayangannya itu sudah terparkir di kepalaku.
Namaku Maryam, usiaku sekarang tepat 23 tahun. Aku tinggal di pondok pesantren di Jawa Timur. Sejak usia ku menginjak 7 tahun, kedua orang tua ku telah mengenalkan ku untuk tinggal di pesantren. Tetapi karena aku cukup mandiri dan cukup nyaman tinggal di pesantren akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di pondok pesantren dan jauh dari kedua orang tua. Bukan hanya menimba ilmu dan mengaji, bahkan aku merajut cinta kasih di pesantren.
Ketika aku menginjak kelas tiga SMA masa-masa jatuh cinta itu hadir begitu saja tanpa ada komunikasi terlebih dahulu. Lelaki yang aku sukai bukanlah orang yang populer karena anak Kiai.
Tetapi, dia populer karena dia seorang Hafidz Qur’an. Sering kali dia mengikuti acara-acara perlombaan besar di beberapa kota, bahkan beberapa negara belahan dunia. Bukan hanya pintar dan tampan yang ia miliki tetapi yang membuatku tergoda adalah kesholehannya. Cerita cintaku saat itu kurang diketahui banyak orang. Bahkan percintaan kami tak seromantis anak muda zaman sekarang, jauh. Percintaan kami singkat, sangat jarang berkomunikasi bahkan surat-menyurat.
keluargabahagia.org |
Sering sekali kami saling bertatap muka, tetapi sangat jarang berkomunikasi. Kami selalu ibaratkan bahwa kami mempunyai alat komunikasi yang tidak dapat diketahui oleh syaitan.
Tetapi, setelah kelulusan SMA semua berubah. Aku tak melihat sikap yang ia miliki seperti dulu. Aku hanya mampu pasrahkan kepada yang maha kuasa. Tak lama setelah kelulusan sekitar 5 bulan kemudian, dia mengirimiku surat melalui temanku.
Ini adalah pertama kalinya aku menerima surat darinya yang tak pernah sebelumnya. Tanganku gemetar, bibirku gugup, perlahan ku buka surat itu di tempat yang sedikit sepi. Suratnya harum dan terlihat tulisan rapih yang ditulis oleh tinta hitam.
“Assalamualaikum.. wr..wb,
Mungkin datangnya surat ini membuat mu bertanya apa yang terjadi semuanya,
Aku tau apa yang sedang kamu rasakan saat ini,
Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena banyak sekali kesalahanku yang telah membuatmu terluka,
Maryam, bukannya hatiku tak mencintaimu,
Tetapi, apalah dayaku ketika takdir Tuhan telah digariskan,
Mungki, nanti aku tak bisa lagi melihatmu, memandangmu, bahkan berada didekatmu walau terhalang tembok besar,
Jika ini adalah yang terbaik untuk agamamu, untuk dirimu, bahkan untuk keluargamu, maka engkau harus ikhlas,
Besok hari aku harus segera pergi meninggalkan pondok pesantren ini dan juga dirimu,
Beberapa hal yang membuatku harus pergi terutama kepentinganku untuk sekolah,
Ingat Maryam, ikhlaskan hatimu untuk menerimanya,
Maryam, jangan pernah tetesakan air matamu karena kepergianku,
Karena, hati ini tak akan pernah pergi sebelum izin darimu,
Maafkan aku, Maryam..
Wassalam..,”
Aku tak bisa berkata banyak, sampai air mataku benar-benar telah membuat pipiku basah. Bibirku gugup, ingin sekali aku mengeluarkan kata-kata dalam hatiku ini, ingin sekali aku menjawab surat itu. Dan yang sangat ku inginkan melihat dirinya langsung saat itu. Aku tak tau apakah ini teguran atau ujian dari Tuhan. Tetapi, aku hanya yakin akan ada nikmat dibalik ini semua tanpa harus aku ketahui. Aku hanya ingat pesan darinya bahwa aku harus ikhlas menerimanya.
Malam itu, aku tak bisa tertidur pulas. Aku terus memikirkannya sampai menjelang pagi. Keesokan harinya dimana dia akan benar-benar pergi meninggalkanku. Ku titipkan gelang tasbih kepada temannya yang terbuat dari kayu Arab pemberian Guruku.
Aku tak mampu melihatnya mulai melangkah kaki untuk pergi. Aku bersembunyi dibelakang masjid. Tetapi, sayang disana aku melihat Ustadzah dan beliau melihatku menangis disana. Beliau menghampiriku, “Mengapa kamu bersedih, Maryam?” suaranya lembut menyentuh hatiku.
“Tidak Bu, aku tidak apa-apa.” Aku mengusap pipiku yang di basahi air mata.
“Kamu tak berpura-pura kan nak?”
Aku terpaksa jujur dan menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diriku.
Beliau memegang tanganku dan menatapku penuh kasih, “Ingat nak, Allah selalu memberi jalan dari setiap musibah dan ujian yang Allah berikan. Kamu tak perlu khawatir bahkan merasa marah atas ujian yang tlah Allah berikan.” Beliau tersenyum manis kepadaku. “Suatu hari nanti kamu akan mengerti semua ini dan kamu pasti akan mengetahui jalan keluar dari ujian ini.”
“Baik bu, terima kasih bu.”
“Sudahlah, terima saja. Tersenyumlah, perlihatkan bahwa kamu itu tegar,” senyuman manisnya membuatku bangkit dari semua ini.
Awal, memang menjadi pr untukku agar dapat mengikhlaskannya. Tetapi setelah 7 bulan lamanya, perasaan itu memudar. Aku terus memfokuskan diriku untuk berkarir. Ya, walaupun masih berada didalam pondok pesantren.
Tepat di bulan April, pondok pesantren kami mendapatkan surat undangan agar ada perwakilan dari pondok pesantren kami mengikuti Lomba Baca Qur’an di Mesir.
Dan pada akhirnya pondok pesantren kami mengirimkan sekitar 3 orang hafidz yang masih di bawah umur, dan aku mendapat undangan bahwa aku harus menjadi guru pembimbing mereka ketika di Mesir. Aku menerimanya dengan senang hati.
Jodoh itu rahasia Allah
jodoh itu rahasia allah |
Dia tak melihatku karena dia duduk di barisan depan, sedangkan aku di barisan belakang. Aku mencoba menanyakan siapa dia kepada seseorang disampingku. Untuk memastikan bahwa benar dia adalah sosok kekasih lamaku.
“Maaf, kamu tau siapa dia?”
“Ya, saya tau. Dia adalah pembimbing guru hafidz di Mesir ini. Usianya memang sangatlah muda. Tetapi, dia sangatlah pintar dan banyak yang menyukainya.”
“Oh, terima kasih ya,” aku tersenyum manis kepadanya dan kembali memandangnya dari kejauhan.
Setelah acara selesai, semua orang yang mengikuti perlombaan itu menginap di sebuah asrama. Aku berbaring di tempat tidur untuk melepaskan rasa lelahku. Tetapi, tetap saja pikiranku tak bisa berhenti memikirkannya.
Aku segera beranjak untuk berdiri dan mencari udara segar keluar. Aku menghela nafas panjang dan duduk di depan asramaku. Rasa lelah dan beban ku seperti berkurang. Ini yang terkadang membuatku tak suka, lagi-lagi aku harus melihatnya.
Ya, kekasih lamaku yang sedang sibuk memegang handphone didekat pintu. Aku terus memandang nya dari kejauhan. Rasanya mulutku ingin berbicara banyak kepadanya. Tapi, kali ini perasaan ku benar-benar tegang. Dia melihatku, da dia menatapku tajam. Aku langsung memalingkan pandanganku ke arah yang lain.
Dia mendekatiku, dan duduk tepat di sebelahku. Aku tak kuasa menengok ke arahnya atau bahkan menatap wajahnya.
“Cinta memang tak dapat ditebak, bahkan aku tak bisa menaklukkannya,” sahutnya kepadaku.
“Tetapi, meninggalkan seseorang karena belajar dan tak ingin berusaha mempertahankan cintanya, sangatlah ..,” aku tak kuasa melanjutkan perkataanku saking banyak sekali yang ingin aku katakan.
“Aku tau dari awal kamu akan datang!”
“Lalu? Kamu hanya diamkan?” aku memalingkan pandanganku kepadanya.
“Maryam, kamu salah paham!”
“Salah paham apa? Apa salah ku? Kamu yang ninggalin aku!” aku sedikit terpancing emosi.
“Jika kamu memang mengerti, kamu akan tau mengapa aku begini!”
Aku hanya diam sebagai jawaban.
Dia memalingkan pandangannya dariku kedepan, “Maryam, seandainya kamu tau dadaku sangatlah sesak. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Jika aku meninggalkanmu dan masih tergantung status diantara kita. Bagaimana jika aku tak mampu menjaga amanah itu? Bagaimana jika aku khilaf?”
“Kita harus berusaha, kita harus yakin kita pasti bersama. Aku lelah dengan perasaan ini!”
“Kalau begitu lupakan saja, mungkin ini sudah takdir Tuhan yang terbaik!”
“Semudah itu?”
Dia menatapku dengan tatapan yang berbeda.
“Aku akan menikah dengan wanita lain karena permintaan kedua orang tuaku,” jawabnya tegas.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku menatapnya tajam, aku tak yakin dengan apa yang baru saja ku dengar.
“Inikah caramu?”
Aku begitu terpancing emosi, karena aku takut melukai hatinya aku putuskan untuk pergi meninggalkannya dan kembali ke asrama. Aku menutup mataku dan segera membereskan pakaianku karena besok pagi aku harus segera kembali ke Indonesia. Malam itu menjadi malam terburuk ku bahwa kenyataannya harapanku benar-benar harus aku kubur.
Sesampai di Indonesia aku ditemui oleh kedua orang tuaku. Awalnya mereka menanyakan kapan aku mengakhiri masa lajangku tetapi akhirnya mereka membawakanku jodoh yang katanya lulusan dari Mesir. Rasanya aku sudah muak mendengar kata Mesir di telingaku.
“Kamu mau kan nak?”
“Bagaimana ayah dan ibu saja,” nada suaraku sedikit kurang bersemangat.
“Kalau begitu nanti kita akan adakan pertemuan ya nak, kamu harus cantik. Awas jangan lupa ya!”
Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.
Setelah 3 minggu kemudian, acara pertemuan itu berlangsung di rumah asalku di Depok. Aku biasa saja tidak terlalu mempersiapkan. Ibuku sedang sibuk menyiapkan makanan hidangan untuk pertemuan ini, sedangkan ayahku sibuk juga melayani para tamu. Aku hanya menunggu di kamar.
Sekitar 20 menit menunggu, terdengar suara mobil datang ke rumahku, ya mungkin calon suamiku yang telah kedua orang tua persiapkan. Tak lama terdengar ketuk pintu kamarku. Aku bergegas membukanya.
“Sebentar!”
Aku segera membukakan pintu kamarku, aku lihat senyuman lebar terpancar dari wajah ibuku. Aku siapkan hatiku untuk menerimanya, calon suamiku. Aku tak kuasa melihat bagaimana wajah calon suamiku. Aku duduk tepat disamping ibuku, aku menundukkan kepalaku. Ketika ayahku mulai mengenalkan ku kepadanya, tiba-tiba perasaanku tak karuan.
Jantung ku berdetak kencang, keringat terasa bercucuran, aneh. Saat aku mulai melihat wajahnya, aku begitu sangat terkejut. Ternyata aku melihat sosok yang selalu menjadi hantu dipikiranku yang telah lama terparkir itu. Dia tersenyum manis kepadaku aku pun membalasnya.
“Inilah calon istriku yang aku telah aku ceritakan kepadamu.”
Aku hanya tersenyum saking bahagia. Sebenarnya ibuku telah berteman lama dengan kedua orang tuanya. Dulu kedua orang tua ku dan kedua orang tuanya tak merencanakan ini semua. Tetapi, mungkin karena kuasa Tuhan dan takdir yang telah digariskan kami pun akhirnya harus bersama walaupun banyak sekali rintangan antara hubungan kami.
Cinta memanglah sebuah misteri, yang sangat sulit dipecahkan. Tetapi, ikhlaskanlah dan yakinlah semua bahwa akan ada hikmah dibalik itu semua. Akhirnya kami menikah, hidup bahagia, walaupun selalu terselip sebuah ujian. Tetapi, aku merasa selalu kuat kali ini. Karena aku tlah ditemani sosok yang tak akan pernah pergi lagi. Kalaupun pergi pasti karena panggilan illahi.
Pengirim : Maryam Cryseld